Sharp News

Matinya Minat Kepemimpinan di Kampus

image

Kumparan

Oct 28, 2023

image

Aksi Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati bersama mahasiswa Jawa Barat pada aksi September Hitam 2023 lalu. Foto: Dok. Pribadi Penulis

Pagi tadi, saya membaca satu tulisan menarik dari salah seorang sahabat yang kuliah di salah satu universitas top ten di Indonesia. Dalam tulisannya itu, dia memaparkan tentang bagaimana minat kepemimpinan di kampus terbaik itu semakin hari semakin sedikit peminatnya.

Saya mencoba membandingkannya dengan kampus saya, Gunung Djati Bandung. Di sini, mahasiswanya pada semangat untuk duduk dijabatan-jabatan intra kampus, bahkan secara teori atau pun pengalaman-kebanyakannya, belum mumpuni. Tetapi, selama mau belajar dan tidak merasa paling jago, kenapa tidak diberi kesempatan?.

Kemudian, saya mencoba merenung, ditemani kopi dan lagu dari Banda Neira. Saya menelisik jauh tentang kenapa banyak yang tidak mau menjadi top leader di kampus sahabat saya itu.

Saya punya satu syak-wasangka, jika fenomena ini sebenarnya juga sedang menimpa hampir di seluruh kampus di Indonesia. Terdapat semacam ada orientasi baru di kalangan mahasiswa untuk tidak terjun ke dalam dunia organisasi.

Di banyak tulisan yang saya muat, salah satunya di salah satu lembaga pers mahasiswa, saya katakan jika ketakmauan mahasiswa untuk terjun ke dalam dunia pergerakan mahasiswa itu diakibatkan oleh beberapa hal.

Salah satunya, ialah karena kaderisasi kampus mati. Banyak mahasiswa-mahasiswa yang telah terhegemoni oleh media sosial yang menyatakan bahwa kaderisasi adalah hal yang kurang elok. Implikasinya, mahasiswa-mahasiswa baru yang terhegemoni ini tidak menyadari sederet konsekuensi logis dari matinya kaderisasi kampus.

image

Diskusi mahasiswa Foto: Dok. ITS

Selayaknya dalam teorinya, orang yang terhegemoni tidak akan merasa bahwa dirinya sedang dihegemoni, ia akan merasa bahwa apa yang dilakukannya—meski terhegemoni—adalah sesuatu yang benar-benar membebaskan dirinya. Bahayanya, orang-orang seperti ini akan mengajak orang lain pula.

Seperti efek domino, kaderisasi di ormawa kampus pun perlahan-lahan mati, ketika kaderisasi mati maka apa yang terjadi di dalam kampus sahabat saya tadi, yaitu krisis kepemimpinan akan terjadi. Bahayanya, krisis ini akan mematikan gerakan mahasiswa pada kemudiannya.

Di banyak literatur, krisis kepemimpinan itu lebih berbahaya ketimbang kelebihan calon pemimpin. Krisis kepemimpinan berarti tidak adanya sosok atau figure yang berminat untuk menjadi pemimpin di kampus-kampus.

Sebabnya, sudah dijelaskan di muka. Akibatnya akan sangat kompleks, karena roda pemerintahan kampus bisa saja dipegang oleh birokrasi, dan seperti birokrasi-birokrasi pada umumnya, kadang pengelolaannya monoton dan dalam banyak kasus justru diskriminatif.

Atau lebih parahnya, tidak adanya sosok yang ingin menjadi pemimpin di kampus maka akan dimanfaatkan oleh segelintir pihak tertentu yang mempunyai agenda-agenda tertentu, misalnya, gerakan khilafiyah yang menaruh kader-kadernya untuk menjadikan mereka radikal dan anti kebhinekaan, atau bisa saja, diisi oleh orang-orang yang mendukung penjajahan, pasti berbahaya!.

Bahkan, di dalam literatur Islam, tidak adanya pemimpin selama satu hari saja keadaannya lebih buruk ketimbang dipimpin oleh satu orang otoriter selama enam puluh tahun.

Ketiadaan pemimpin akan berakibat pada sulitnya suatu kelompok diatur, sulitnya suatu kelompok diatur akan berdampak pada pengelolaan manusia yang ugal-ugalan, hasilnya suatu kelompok itu terombang-ambing, tidak jelas ke mana arahnya.

Pemimpin, akan hadir selayaknya nakhoda di samudera yang luas, ia akan memimpin kapal menuju dermaga-dermaga keberhasilan. Ketiadaan nakhoda, dapat membuat kapal itu karam, ditelan keganasan ombak kehidupan.

Saya, kemudian merasa jika kenapa tokoh-tokoh politik nasional yang sering muncul dan dianggap keren untuk maju sebagai pemimpin bangsa, dia lagi dia lagi, karena memang tidak ada sosok yang mau maju lagi, padahal secara kualitas barangkali banyak yang lebih baik dari dia.

Untungnya, kampus saya, di Gunung Djati Bandung, masih sering rebut-rebutan kekuasaan intra kampus, saya merasa senang. Karena selain melihat bagaimana cara bermain politik mereka, tokoh-tokoh mahasiswa yang kepengin maju sebagai kandidat pun beragam.

Kelebihan calon pemimpin adalah baik. Saya malahan mendukung calon-calon pemimpin bersaing secara sehat untuk dapat duduk di kursi yang diinginkannya, ketimbang ketiadaan atau krisis calon pemimpin.

Terakhir, semoga kampus-kampus dapat kembali hidup pada satu pelatihan politik yang sehat dan mahasiswa-mahasiswa di dalamnya tidak termakan dengan pikiran-pikiran aneh yang hanya mengatakan jika menjadi organisatoris di kampus hanyalah buang-buang waktu dan tidak berguna.

Dan semoga, mereka mau berebut kursi dalam arti baik untuk duduk di kepemimpinan mahasiswa. Sepertinya, di tulisan selanjutnya saya akan lebih dalam dan komprehensif membahas hal ini, ditunggu saja!

By Kumparan